Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan tentang Waris

18 Juli 2025

Bongkar Waris

Mewariskan dan menjadi ahli waris adalah perihal politis.

Waris menentukan siapa tuan, siapa jadi bayangan, siapa yang disingkirkan dari garis hak.

Mewariskan sesuatu berarti memiliki kendali untuk menentukan penting tidaknya obyek yang diwariskan.

"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke" – Sunda Buhun

Ada dulu, ada sekarang. Jika tidak ada dahulu, tidak akan ada sekarang. 

Kami adalah anak-anak dari luka yang belum kering. Menjadi ahli waris, bagi kami, adalah menyelami trauma leluhur yang terus mengalir dalam darah, dilukai oleh kuasa yang menggerogoti tubuh dan tanah. 

Warisan yang saya miliki adalah  sejarah yang tertutup oleh merahnya darah konflik. Konflik dalam keluarga di rumah, konflik dalam keluarga besar, komunitas adat, hingga konflik Tanah Papua yang terus berkecamuk.

"Tefa leu be, ta'o be nasihat."
Yang diwariskan bukan cuma tanah, tapi juga arah.
Tapi dari Rote, tanah kering dan jauh dari pusat, arah itu selalu datang terlambat atau tak datang sama sekali. Kami lahir di pinggir, tumbuh tanpa suara, diajari sabar, bukan bertanya. 

Kami:

Terdiri dari banyak aku

menyebar di semua penjuru angin

di rumah dan di rantau

pekerja upahan rawatkan warisan tuan

s’mentara warisan sendiri yang tersisa terbengkalai atau tak terjangkau

***

Negara mewariskan cara pandang pembangunan yang berakar pada watak kolonialisme dan kapitalisme: akumulasi kekayaan melalui eksploitasi manusia dan alam, memutus ikatan dan relasi yang saling menghargai.

Waris: aparatus kuasa---piranti perampasan sumber daya, pencurian nilai alam dan kerja, dikunci dalam konsensus properti, dalam kantong eksklusi atas yang berhak dan yang tidak, dan juga intuisi klaim kepemilikan yang patriarkal---yang menyamar sebagai kasih kekerabatan keluarga yang turun-temurun.

Warisan kerap diasosiasikan sebagai modal bagi ahli warisnya. Yang dianggap kurang produktif tidak akan diwariskan, melainkan dikesampingkan hingga menjadi borok atau usang.

Kami adalah ahli waris penuh luka sejarah, kebohongan, trauma, kemiskinan dan Ibu Bumi yang telah hancur.

Di tahun 1950, tak lama setelah Indonesia merdeka sejumlah seniman lelaki garda depan menuliskan sebuah manifesto: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.” Sah, diakui, bukan haram. Tapi bila yang bernilai tinggi dalam kebudayaan dunia ditentukan oleh segelintir elit di negara-negara yang mendapat keuntungan dari pengerukan sumber daya di belahan Selatan, oleh kepentingan pasar bebas yang bertumpu pada ketimpangan global, oleh struktur kolonial yang melanggengkan genosida, barangkali lebih baik jika kita menjadi anak haram saja.

Kami semua adalah ahli waris dari kebohongan-kebohongan kolonial, terutama perihal hierarki jiwa raga-jiwa raga tertentu dibandingkan jiwa raga-jiwa raga lain--ableisme kolonial. Maka dibutuhkan manifesto yang bersifat pribadi maupun kolektif, yang hari demi hari menolak hierarki-hierarki tersebut, yang mengagungkan kasih sayang untuk diri dan komunitas meski hidup dengan segala kekerasan dunia kapitalis.

Gugatan Pulau

Tidak mudah bagi perempuan untuk menafsir kata waris. Dalam tatanan adat, kami hanyalah perempuan yang dilahirkan lalu disebut sebagai "orang lain,” tentu berbeda dengan saudara laki-laki kami, yang oleh tatanan sosial-budaya telah dipercayakan mewarisi kuasa, wilayah, hingga pengetahuan.

Kami diwarisi mitos kejayaan para pelaut. Sejarah Wakatobi ditulis dari atas geladak kapal oleh para lelaki, disebarkan dalam narasi pembangunan yang menggusur relasi kami dengan alam, yang memuja beton dan reklamasi, kulinerisasi yang membungkam lahan dan pangan sebagai pengetahuan dan penghidupan, juga pariwisata yang mengubah ruang hidup semata sebagai tontonan. Sistem pendidikan menjauhkan kami dari tanah sendiri. Sejarah kami disenyapkan dan tubuh kami dijinakkan atas nama kemajuan.

Di pulau kami, warisan diutamakan untuk laki-laki, sementara tubuh perempuan menjadi benteng tradisi, merajut keindahan yang tak pernah kami tentukan, diberi mandat melahirkan penerus, tanpa pernah ditanya, “apakah kau baik-baik saja dengan semua ini?”

Leluhur telah meninggalkan kami karena ruang hidup dan batu mezbah telah dihancurkan. Dihadapkan dengan negara, gereja, patriarki, kami telah muak dengan itu semua. Dengan segala kemarahan dan luka-luka ini, kami ingin pulih.

Kami membantah diberi warisan kakenda, ayahanda, pamanda semata. Kami ingin peliharakan warisan nenenda, ibunda, mamanda, sanak dan kawan juang mereka yang tak diikat oleh silsilah. Kami pun tak mau silau oleh gemilang kejayaan raja dan ratu, kami ingin perdengarkan suara-suara ‘proletar mesin’, ‘proletar tanah’ (bak kata Tan Malaka), proletar rumah dan merangkai pengetahuan sejarah yang adil dan peka, melintasi sekat-sekat yang dipaksakan.

Gugatan Tubuh

Transpuan kerap dihilangkan dari daftar penerima waris karena dianggap menyalahi kodrat normatif. Ketika mereka pergi dari rumah dan tidak lagi menggunakan nama lahir, mereka dicoret dari daftar keluarga.

Hak waris transpuan juga kerap dititipkan pada trah terdekat padahal belum tentu hak tersebut dipenuhi oleh trah yang menerima mandat hak waris. Bahkan seringkali hak dialihkan diam-diam kepada anak-anaknya sendiri tanpa sepengetahuan transpuan yang bersangkutan.

Ketika transpuan mengasuh anak, mereka tidak dianggap sah sebagai pewaris karena tidak memenuhi kaidah hukum sesuai prosedur hierarki peraturan perundangan yang berlaku.

Warisan transpuan adalah hasil-hasil kerja kolektif, budaya, dan peradaban yang dapat terus dilestarikan oleh generasi masa depan.

Kami menolak bila waris tak lain adalah perpanjangan kuasa yang menjarah tubuh dan seksualitas: logika reproduktif dan cisheteronormatif yang susah payah kami hapus dari ingatan. Trauma tetap nyala. Pada kami (kwir), warisan itu nyata terasa. Perasaan inferior, tak dilihat, tak didengar, tak dianggap, tak dicintai---bising dan ramai.

Identitas ini lahir dari rekayasa genetik yang memposisikan tubuh sebagai laboratorium sekaligus ruang digital, tubuh yang terbuka atas modifikasi melalui jarum suntik, hormon sintetis, pil, dan peralatan cyborg lainnya.

Kami dianggap sebagai glitch - suatu kesalahan pada sistem.

Identitas ini bukanlah kesalahan biologis melainkan hasil kesadaran intervensi medis yang melampaui gender: politis, farmakologis dan radikal.

Mewarisi sejarah yang mempersetankan gerakan perempuan mengasingkan kita dari banyak hal. Bergerak, bagi kebanyakan dari kita, selalu berada di dalam dikotomi domestik versus publik. Padahal semua yang radikal direproduksi di ruang-ruang domestik. Pemberangusan gerakan buruh juga mengantarkan kita pada masyarakat kapitalis yang semakin mengindividualisasi dan mematikan kolektivitas. Kebebasan hanya datang pada mereka yang punya kuasa, baik itu kapital atau pun pengetahuan.

Setiap malam adalah jahanam, kelam dan mengancam, tapi seperti mereka kami ingin merebut kembali warisan yang telah dirampas dari ibu-ibu ideologis, pengetahuan yang dimutilasi itu, dicacah-cacah hingga hilang bentuk, dibakar, dikubur dalam-dalam sampai pusat bumi. Tapi bumi muak dan muntah, menghamburkan amarah beramai-ramai almarhumah. Tak ada warisan hari ini, cari sendiri makananmu!

Rebut

Kami ingin mewarisi segala yang dianggap sebagai aib dalam sejarah versi penguasa dan tidak pernah diselesaikan dengan benar.

Kami ingin menggugat hak kami sebagai ahli waris, atas hal yang tidak diwariskan,

Di kemudian hari, kami ingin mewariskannya tanpa terkecuali.

Kami menuntut lebih dari sekadar warisan materiil--kami merebut hak untuk mendefinisikan ulang, hak untuk mengubah, hak untuk bernafas lega. Karena merawat bukan berarti tunduk.

Berbagai inisiatif kolektif, dari perempuan, masyarakat adat, buruh, dan beragam identitas gender dan seksual, mewariskan ilmu pengetahuan yang secara intim terhubung dengan satu sama lain. Mama-mama di Papua berjuang untuk melindungi hutan karena bagi mereka hutan adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan–kesadaran yang harus diwariskan kepada anak cucu. Kelompok buruh menularkan semangat perlawanan dari generasi ke generasi. Sementara itu, teman-teman kwir berusaha melestarikan ruang aman, praktik merawat, dan penerimaan bagi semua ke generasi muda. 

Kami ahli waris kebudayaan haram yang ditoreh Murniasih, Kakinya putus satu, yang tak hendak menyerupai siapa-siapa selain diri kami sendiri yang penuh luka, liar, dan kwir, kebudayaan yang ditempa alu lesung bertalu-talu untuk mengusir tujuh setan desa, dirajut tangan beramai-ramai oleh yang tak takluk ditakut-takuti neraka jahanam.

Saya adalah ahli waris dari perempuan berluka tanpa darah yang melawan perampas kebebasan, penindas terselubung di balik budaya. Sejarah dan luka yang ia miliki menjadi kekuatan terbesar bagi saya dalam gerakan perjuangan menentang ketidakadilan yang menimpa perempuan.

Apakah aku mati? Tidak! Mereka berkata sambil terus memimpin perlawanan dari dalam kubur.

***

Estafet pengetahuan feminis adalah ruang pewarisan pengetahuan yang bergerak secara horizontal dan merimpang, yang menjalar, memberi pengakuan pada pemikiran dan pengalaman-pengalaman tubuh antarkelas, antarkepulauan, dan antargenerasi. Tubuh-tubuh yang bergairah menafsir pengetahuan dalam ruang dan waktu yang terus berjalan.

Untuk itulah kami Ziarah pada kubur arwah Api Kartini, Aku Besarkan Apinya Mengelupas Dinding Gelap dan kutemukan mereka terbengkalai dengan nama-nama yang kabur.

Kami ingin mewarisi dan menafsirkan kembali narasi monumen dan artefak yang dihilangkan, dijual, ataupun dihancurkan dalam perang.

kami:

tumbuh tak tersekap oleh pagar-dinding sekolah, perpustakaan, arsip, dan museum

 

kami:

bergentayangan ke kubur-kubur yang digusur, gudang-gudang pengap berjamur, studio telantar dan pasar loak

Bersama, kami menolak absennya ketiadaan dan keterbatasan ruang belajar. Kami ingin terjadinya kolaborasi antar latar belakang/ spesialisasi yang berbeda dalam kerja pemeliharaan dan pemulihan narasi masa lalu. Kami turut mereka ulang praksis ini dengan semangat dekolonial yang relevan untuk belahan dunia selatan.

kami:

melacak yang terkubur, telantar - membusuk, melapuk

mereka - meretas

teknologi untuk membaca

merawat, hidup bersama yang meruyak dan memunah

Warisan untuk Masa Depan

Sebagai bagian dari masyarakat global, kami ingin mewarisi ingatan, pengetahuan dan perlawanan perempuan pulau. Kami tidak ingin menjadi generasi yang memutus warisan ekologis dan kolektif. Kami menulis sebagai intervensi terhadap pengetahuan maskulin yang menyuburkan kolonialisme baru, kapitalisme wisata dan negara yang takluk pada statistik.

Dengan warisan feminis, kami mengikhtiarkan gerak wakaf radikal: perawatan, solidaritas, pengetahuan, dan otonomi penghidupan trans-sosial dan transnasional. Wakaf feminis tidak mengabadikan nama atau silsilah, tapi menebalkan jaringan hidup lintas kelas, spesies, teknologi, dan bangsa---sabotase terhadap algoritma warisan yang mengatur pembinasaan bangsa, penghidupan pekerja dan sumber daya alam hari ini.

Karena warisan bukan kutukan, tapi api yang kami nyalakan kembali untuk membakar segala yang tak adil, dan menerangi jalan pulang ke pintu kesetaraan.

Keadilan disabilitas adalah keadilan anti-kapitalis, anti-genosida yang mengharuskan kepemimpinan oleh yang paling terdampak. Segala kebohongan mengenai perempuan tuli dan/atau disabilitas harus dibongkar, kebohongan bahwa kami tidak berdaya, bahwa kami tidak berpendapat, bahwa kami harus diatasnamakan. 

Aku anak dari tanah itu.

Mewarisi tangan mama yang kuat,

tapi juga warisan diam yang membatu dalam tubuhku.

"Ana moli leu ma lelu."

Anak yang tahu menerima, tahu memilah.

Warisan bukan selalu tentang apa yang kita tinggalkan setelah tiada, melainkan apa yang kita pelihara saat hidup. Dan sebagai transpuan saya mencoba menebarkan benih-benih harapan tentang keberanian, kepedulian, cinta dan perawatan yang mulai tumbuh di tempat yang belum bisa kita lihat sekarang, namun akan mekar dalam rezim yang merangkul seluruh hasrat. 

Hari ini aku memilah.

Aku menolak menjadi penerus dari luka yang dibungkam dan dilupakan. Aku memilih leu yang bukan lagi sunyi.

 Kami ingin menawarkan cinta dan kebahagiaan dari dunia yang terus melakukan praktik kepunahan massal melalui penjajahan. Kami hadir bukan sebagai penanda apokalips, tapi sebagai kemungkinan: bahwa empati adalah bentuk perlawanan, dan kebahagiaan kwir adalah tandingan paling radikal terhadap mesin yang membumihanguskan manusia.

Kami menolak takut.

Kami tak akan pernah mati.

Kami terima apa yang kami warisi, pelajari yang bijak dan yang jahat. Yang bijak 'kan kami susuri dan biakkan, dan kirim ke masa depan terjauh yang kami bisa. Yang jahat tak kami takuti dan hindari, melainkan hadapi dan teliti agar tak terulang di masa depan. Ini janji kami pada moyang dan generasi mendatang. 

__________________

Naskah Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan tentang WARIS ditulis secara kolektif oleh:

Carlin Karmadina

Cecil Mariani

Eka Putri Puisi

Fathimah Fildzah Izzati

Himas Nur

Intan Paramaditha

Ishvara Devati

Kelas Liarsip

Khairani Barokka

Keni Soeriaatmadja

Lisabona Rahman

***

Penyunting: Intan Paramaditha

Dramaturgi pemanggungan: Ishvara Devati

Mami Vinolia

Naomi Srikandi

Putu Sridiniari

Project Multatuli

Rully Mallay

Sherly Leneng

Tyassanti Kusumo

Yokbeth Felle

Yuni Shara

Yustina Dama Dia