Sekolah Pemikiran Perempuan percaya bahwa membayangkan masa depan yang lebih adil adalah menggugat dan mereka ulang imajinasi tentang keluarga. Kami menawarkan gambaran masa depan yang bertumpu pada semangat kolektif, solidaritas, dan kasih sebagai kekuatan meretas pagar-pagar kapitalis, patriarkis, dan heteronormatif.

Manifesto ini ditulis bersama pada Februari 2022 oleh Fathimah Fildzah Izzati, Intan Paramaditha, Lisabona Rahman, Ni Putu Dewi Kharisma Michellia, Raisa Kamila sebagai bagian dari kerja kolektif Sekolah Pemikiran Perempuan, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Rara Rizal dan Syarafina Vidyadhana.

Kami diundang oleh penulis Palestina Adania Shibli untuk berpartisipasi dalam proyek “Manual for Togetherness,” sebuah manual yang ditulis oleh beragam individu dan kelompok dengan tujuan membayangkan bagaimana kita hidup bersama di masa depan.

Versi bahasa Inggris manifesto ini pertama kali dibacakan dalam “A Scenario for Togetherness”, sebuah pertunjukan dan sinema hidup berdurasi 40 jam, inisiatif dari Ayreen Anastas, Adania Shibli, dan Rene Gabri di FFT (Forum Freies Theater) Düsseldorf pada 7 Mei 2022 lalu. Etalase 2022 menjadi forum pertama pembacaan manifesto tersebut dalam bahasa Indonesia.

Sekolah Pemikiran Perempuan (The School of Women’s Thoughts) believes that to imagine a more just future is to question and reimagine the concept of family. We envision a future built upon collectivity, solidarity, and care to break through capitalist, patriarchal, and heteronormative confines.

This manifesto was written in February 2022 by Fathimah Fildzah Izzati, Intan Paramaditha, Lisabona Rahman, Ni Putu Dewi Kharisma Michellia, and Raisa Kamila as part of the collective work in Sekolah Pemikiran Perempuan, and it was translated into English by Rara Rizal dan Syarafina Vidyadhana.

We were invited by Palestinian author Adania Shibli to participate in “Manual for Togetherness,” a manual written collectively by various people and groups who share proposals on how we may live together in the future.

The English version of this manifesto was first recited in “A Scenario for Togetherness,” a performance and living cinema with a 40-hour duration, initiated by Ayreen Anastas, Adania Shibli, and Rene Gabri di FFT (Forum Freies Theater) Düsseldorf on May 7, 2022. The manifesto will be read in Etalase Pemikiran Perempuan 2022.

(Please scroll down to read the manifesto in English)

Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan

Tentang Keluarga

MEMBAYANGKAN masa depan yang lebih adil adalah menggugat dan mereka ulang imajinasi tentang keluarga. Kami, perempuan dari keluarga kelas menengah berpendidikan– yang sebagian besar Muslim dan dibesarkan serta belajar di Pulau Jawa– tumbuh dengan gagasan tentang keluarga sebagai metafora bangsa dan alat penindasan. Masa depan yang kami gambar bertumpu pada semangat kolektif, solidaritas, dan kasih sebagai kekuatan meretas pagar-pagar kapitalis, patriarkis, dan heteronormatif.

 

Tiga puluh tahun lebih rezim otoriter di Indonesia menempatkan presiden sebagai figur Bapak dari rakyatnya, anak-anak yang belum dewasa, perlu dibimbing, dan mudah terprovokasi. Rezim militer ini menarik garis batas antara Ibu, pendamping Bapak dan pengayom rumah tangga, dengan perempuan yang berpolitik. Kami tumbuh dengan cerita fitnah tentang perempuan-perempuan komunis—monster, pelacur—yang mengebiri Bapak-bapak tentara, cerita yang melegitimasi pembunuhan massal, dan pemenjaraan orang-orang kiri tanpa pengadilan. Di masa ini perempuan didomestifikasi, didikte, dan bahkan diinstitusionalisasi melalui serangkaian peraturan negara.

 

Lepas dari diktator, keluarga jadi bahan rebutan. Menguatnya konservatisme agama berujung pada pembatasan-pembatasan terhadap ruang gerak perempuan, juga demonisasi terhadap kelompok minoritas seksual, semua atas nama keluarga. Ada kemiripan antara citra ideal keluarga sekuler era otoriter maupun Islam konservatif: kelas menengah, terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak (dulu dibatasi dua, sekarang tergantung karunia Allah), produktif, patriarkis, Jawa. Banyak kawan kami di Nusa Tenggara Timur, Maluku, atau Papua tak bisa menghubungkan diri dengan gambaran ibu: dulu berkebaya, sekarang berjilbab.

 

Sebagai kolektif feminis, kami menggugat berbagai gagasan keluarga yang dipaksakan kepada kami, tapi kami menolak dikotomi dominasi keluarga vs perlawanan individual. Dalam Rumah Boneka karya Ibsen, Nora menolak nilai-nilai patriarki keluarga borjuis Eropa dengan melawan sendirian. Kami teringat feminis Indonesia Marianne Katoppo yang mengatakan bahwa perlawanan perempuan Asia seharusnya tak meniru imaji borjuis Eropa, melainkan terinspirasi dari buruh yang tersentuh dan bebas. Bila Nora perempuan Minangkabau, sepasukan perempuan mulai dari ibu sampai nenek – Amak, Akak, Uni, Angah, Mak Uo, Etek, Enek—pasti akan segera turun tangan dan membentak-bentak Torvald. Ada potensi dalam kolektivitas yang menjadi ciri berbagai model keluarga di Indonesia. Kolektivitas ini adalah kekuatan, namun kami tak ingin meromantisasinya.

 

 

DARI PENGALAMAN kami di Indonesia, kami melihat beberapa persoalan muncul dalam model keluarga dominan. Di tengah menguatnya gagasan individu neoliberal, banyak keluarga kian melepaskan diri dari persoalan penting di dalam masyarakat. Padahal, persoalan penting tersebut membentuk sekaligus menentukan cara hidup dan cara pandang keluarga-keluarga nuklir yang ada selama ini.

 

Gaya hidup konsumtif menjadi rujukan utama keluarga sehingga menyebabkan hubungan di dalamnya bersifat transaksional belaka. Mereka yang berperan sebagai penyedia kebutuhan hidup adalah pemegang otoritas, kecuali kalau dia perempuan atau queer biarpun dia adalah tulang punggung keluarga. Jangankan diakui sebagai pemegang otoritas dalam keluarga, banyak perempuan dan queer dibuang dan diasingkan dari keluarga hanya karena memiliki orientasi seksual, ideologi, atau kemampuan fisik yang berbeda.

 

Perbedaan adalah beban yang selalu dihindari. Praktik menyingkirkan mereka yang berbeda diperparah oleh individualisme. Individu yang berbeda dianggap salah dan penderitaannya harus ditanggung sendirian. Sebagaimana kredo neoliberal, “Kamu miskin karena kurang usaha!” Setiap individu berbeda di dalam keluarga pun dikenai kredo yang serupa: ”Kalau kamu berbeda, pilihannya: patuh atau pergi.”

 

Keseragaman cetak biru hidup perempuan ideal yang diajarkan kepada kami adalah “Lahir-sekolah-bekerja-menikah-punya anak-mengurus suami-mati.” Harus selalu seperti itu. Mereka yang menginginkan pola berbeda dipersilakan pergi dan tidak lagi punya hak mendapat dukungan keluarga.

 

 

MARI kita tinggalkan keluarga semacam itu.

 

Bagaimana kalau kita mulai dari berkhayal? Jika saja segala khayal mungkin kita wujudkan, apa yang akan kita wujudkan?

 

Kami tidak menggunakan kata ’meraih’ seperti dalam ungkapan ’meraih cita-cita’ yang mengisyaratkan bahwa tujuan itu sudah ditentukan oleh kuasa di luar kami sehingga kami harus mengerahkan daya untuk mendapatkannya. Tidak, kami tidak akan mematuhi kerangka yang dibuatkan untuk menempatkan kami ke dalam jalur-jalur yang sudah ditentukan. Kami ingin mencita-citakan sesuatu yang belum ada, yang lebih baik, karena itu adalah yang kami inginkan dan bukan sesuatu yang semata-mata harus diraih untuk memperkuat kuasa yang menentukan segalanya untuk kami.

 

Kami mengkhayalkan suatu keluarga, yakni kumpulan yang saling menjaga, mengamankan dan mendukung. Keluarga ini tidak perlu ditentukan oleh silsilah heteronormatif, tetapi oleh cinta dan solidaritas. Di dalam keluarga yang kami khayalkan, manusia itu beragam dan bebas. Keluarga ini tidak berkembang hanya lewat garis keturunan badaniah atau keseragaman warisan, entah itu harta benda atau adat dan jatidiri. Di dalam keluarga khayalan kami ini tak sepatutnya ada yang merasa tersisih atau dipinggirkan. Kami mengkhayalkan keluarga yang dibentuk atas kemauan dan kesadaran untuk berkumpul. Ia adalah ruang yang terbuka dan menerima karena keinginan saling mengasihi dan menghapuskan penindasan, meretas batas-batas kelas, ungkapan gender, ras, suku maupun bangsa.

 

Di keluarga ini kami bercakap dan bertukar pikiran serta rasa dengan bahasa yang jamak: kata-kata, kecapan, gerak, warna, bentuk dan suara. Bekerja dan mencipta di dalam keluarga ini kami hargai setara sebagai amal pikiran dan perasaan tanpa membedakan mana yang lebih tinggi dan lebih rendah seturut kasta-kasta yang diterapkan macam seni tinggi atau rendah, karya ruang publik atau pribadi, kerja produktif atau reproduktif.

 

Pengikat anggota keluarga ini adalah pengakuan atas kedaulatan diri dan keinginan untuk bertaut dan mengasihi, didasari cinta terhadap sesama manusia dan alam semesta. Di dalam keluarga khayalan kami, tanggung jawab dan kerja adalah kesibukan bersama yang dibagi dengan adil, dengan kepekaan atas keragaman kemampuan dan keinginan.

 


KETIDAKPASTIAN selama pandemi, yang ditanggapi dengan solidaritas kolektif pada masa ini meyakinkan kami bahwa membuka khayalan tentang keluarga itu perlu.

 

Masa pandemi, seperti halnya pada masa perang, konflik, dan bencana alam, memaksa orang-orang untuk mencari tempat bernaung, sebagian bersama anggota-anggota keluarga yang saling melindungi, tetapi juga tidak sedikit bersama anggota-anggota keluarga yang terus bersitegang dan tidak saling peduli. Kehilangan, kelaparan, kemiskinan, terasa semakin menyesakkan jika terjebak dalam kehidupan keluarga penuh racun. Beberapa film dan novel menawarkan jalan keluar yang terasa menjanjikan: menggugat, minggat, lalu bertualang mencari kebebasan. Tapi bagi kami, tawaran semacam itu bisa membuat kita hanya terpaku pada diri sendiri, jauh dari empati dan solidaritas terhadap orang-orang lain yang juga mengalami persoalan serupa.

 

“Ketidakpastian” adalah kata yang paling sering kita dengar, bersamaan dengan teknologi yang berkembang terlalu pesat. Wujud dari “ketidakpastian” itu beragam: alam yang kian renta dengan pemanasan global akibat siklus produksi dan konsumsi kapitalisme global, kerja fleksibel yang tak tentu upahnya, hingga keputusan untuk tidak memiliki anak karena tidak yakin bahwa dunia yang kita wariskan di masa depan akan lebih baik. Masa pandemi menunjukkan kepada kita bahwa solidaritas menjadi kunci dalam menghadapi “ketidakpastian”.

 

Berefleksi dari pengalaman pandemi dan situasi ekonomi politik global hari ini, kami memandang suatu “jaring pengaman” semestinya diciptakan bagi setiap dari kita. Sembari menuntut jaring itu diciptakan oleh negara, kita dapat memulainya dari keluarga. Asas-asas solidaritas, inklusivitas, empati, dan kesetaraan/perlakuan egaliter, hingga demokratisasi hak-hak dasar adalah apa yang kita butuhkan bagi suatu keluarga.

 

Pertanyaannya kemudian: apakah sikap-sikap itu terlalu berat untuk kita kembangkan, bahkan dari kolektif terkecil kita?

 

 

KELUARGA, ruang intim antara setidaknya dua manusia, sudah begitu lama disesaki aturan dan norma dari otoritas yang merasa tahu segalanya. Setiap masa, patokan untuk menjadi keluarga sempurna senantiasa berubah, mengikuti arah kemudi kuasa. Kami berhenti tidak hanya untuk menggugat, tapi juga untuk membayangkan ruang intim yang memungkinkan orang-orang di dalamnya senantiasa bertumbuh, melampaui sekat-sekat yang dipancang oleh otoritas negara, agama, kolonial, dan kapital.

 

Melalui manifesto ini, kami ingin mengajukan suatu praktik hidup bersama, tanpa kekerasan, tanpa peminggiran terhadap orang-orang yang dianggap berbeda, dalam kesadaran untuk saling merawat dan mengasihi, melalui cara-cara luwes, menyesuaikan dengan kesepakatan orang-orang yang bersedia terlibat di dalamnya. Masing-masing orang terlibat adalah sosok berdaulat atas dirinya, dan meyakini bahwa masa depan yang lebih adil bagi manusia dan alam semesta adalah perkara yang mutlak diperjuangkan bersama-sama.

 

Tidak ada resep mujarab untuk meracik mimpi ini menjadi nyata, pun tidak ada jalan pintas untuk tiba di sana. Langkah pertama harus diambil, dengan bergandengan.

 

Februari 2022

 

Sekolah Pemikiran Perempuan*:

Fathimah Fildzah Izzati
Intan Paramaditha
Lisabona Rahman
Ni Putu Dewi Kharisma Michellia
Raisa Kamila

 

Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh: Rara Rizal & Syarafina Vidyadhana

  

* = Jika ingin mengutip atau mengacu pada manifesto ini, harap gunakan “Sekolah Pemikiran Perempuan” sebagai penulis. 

 

English Translation

On Family: A Manifesto by The School of Women’s Thoughts

 

TO IMAGINE a more just future is to question and reimagine the concept of Family. As women born into educated middle class families—the majority of which are Muslims, raised or went to school in Java—we grew up with the idea of Family as a symbol of the state and its instrument of oppression. We envision a future built upon collectivity, solidarity, and care to break through capitalist, patriarchal, and heteronormative confines.

 

For more than thirty years, the authoritarian regime in Indonesia positioned the president as a Father figure for his people—often depicted as “immature,” “in need of guidance,” and “easily provoked.” The military regime created a deliberate distinction between the Mother, painted as the “Father’s companion” and “homemaker,” and the Political Women. We grew up hearing slanderous stories about the communist women—monsters and whores—who castrated military men, stories that were supposed to legitimize mass killings and imprisoning leftists without trials. It was a dark time where women were domesticated, dictated, and even institutionalized through a series of state regulations.

 

Post-dictatorship, Family is now a hot commodity. The strengthening of religious conservatism has resulted in restrictions to women’s movement and the demonization of sexual minority groups, all in the name of Family. There are similarities between the idealized image of a secular family in the authoritarian era and a perfect family according to the conservative Muslim: middle-class, consisting of a mother, a father, and their children (it used to be restricted to two children only, now it depends on “Allah’s blessing”), productive, patriarchal, Javanese. Many of our friends in East Nusa Tenggara, Maluku, or Papua cannot relate to this idealized Mother figure: back then in kebaya, and now in a hijab.

 

As a feminist collective, we are actively challenging the many versions of Family shoved down our throats, but we reject the simplistic dichotomy of family domination vs individual struggle. In Henrik Ibsen’s A Doll House, Nora rejects the patriarchal values of the European bourgeois family by fighting alone. We recall Indonesian feminist Marianne Katoppo’s argument that the Asian women’s resistance should not imitate that of the European bourgeoisie, but instead be compassionate and free, drawing inspiration from the fight for worker’s liberation. Had Nora come from Minangkabau, she would have had by her side an army of women—her Amak, Akak, Uni, Angah, Mak Uo, Etek Enek—to step in and put Torvald in his place. There is a sense of collective struggle that characterizes the Indonesian family, and we recognize its potential without romanticizing it.

 

From our experience in Indonesia, we see several problems in the dominant family model. In the midst of the strengthening of individual neoliberal ideas, families are increasingly detaching themselves from important issues in society, when in fact, these issues are shaping and defining the way of life and perspective of existing nuclear families.

 

The consumptive lifestyle has become one these families are most familiar with, and as a consequence relationships are reduced to purely transactional. Those who take up the role of breadwinners automatically become the authority figure, unless except when they are women or queer people. Despite being the backbone of their families, many women and queer people are disowned and even exiled from their own families solely for their “different” sexuality, ideology, or physical condition.

 

Difference is a burden to be avoided at all times. The practice of getting rid of those who are different is compounded by individualism. Those who are different are simply wrong, and they alone must suffer the consequences. The neoliberal creed goes, “If you are poor, it’s because you don’t work hard enough”, and the same rule applies for those who are labeled different in the family: “If you are different, the choice is to conform or leave.”

 

As women we were taught to follow the strict blueprint of “Born-study-work-get married-have children-take care of husband-die.” It should always be like that. Those who desire a different pattern are dismissed and no longer entitled to family support.

 

 

LET US abandon such a Family.

 

What if we start by imagining? If we had the power to turn our imaginations into reality, what kind of reality would we pursue?

 

We start by refusing to use the word “pursue”, as in “pursue your goal”, since it implies that the goal itself has been predefined for us by some higher authority, and that our sole task was to run towards it. In this reality we refuse to adhere to any framework where the path had been set for us in advance. We want to aspire to something that does not yet exist, something better, because it is what we want for ourselves. We will not accept anything that is handed to us by a higher authority, as doing so would only tighten its grip on us.

 

We imagine a family of people who look after, protect, and support each other. This family need not be defined by heteronormative genealogy, but by love and solidarity. In this family, human beings are diverse and free. This is a family that flourishes not only through bodily lineage or common heritage, whether it was property or customs or identity. In our imaginary family no one should be excluded or marginalized. We imagine a family formed by the will and consciousness to come together. This family is a space that is open and accepting, nurtured by the desire to love one another and to eliminate oppression, breaking the boundaries of class, gender expression, race, ethnicity, and nationality.

 

In this family, we speak and exchange thoughts and feelings in a plural language: words, tastes, motions, colors, shapes, and sounds. Working and creating in this family are something we value equally as a labor of thoughts and feelings without distinguishing which one is higher and lower according to the castes applied, such as high vs low art, works in public vs private spaces, productive vs reproductive work.

 

What binds these family members together is the acknowledgment of self-sovereignty and the desire to connect and care, based on love for fellow human beings and the universe. In our imagined family, responsibilities and work are fairly shared, with sensitivity to our varying abilities and desires.

 

 

THE PANDEMIC has introduced a new level of uncertainty, but our collective solidarity has convinced us that it is necessary, perhaps now more than ever, to start imagining a different way of looking at Family.

 

As in times of war, conflict, and natural disasters, the pandemic has forced people to seek shelter. Some will have the comfort of being around family members who protect and care for each other, but for many this is a luxury they cannot afford. Grief, hunger, poverty feel even more suffocating when you are trapped in a toxic family situation. Every now and then, films and novels come up with an ostensibly promising solution to this problem: to dissent, escape, and then go on an adventure to find freedom. But to us, such a promise focuses only on our individual struggles, dismissing the importance of empathy and solidarity with other people experiencing similar problems.

 

Uncertainty is a ubiquitous word, especially at a time where technology seems to be developing too fast. This uncertainty is present in the everyday: from an increasingly vulnerable nature to the climate crisis due to the exploitation and consumption cycle of global capitalism; the lure of flexible work with uncertain wages; or even the decision not to have children because we are not sure that we can leave a better world for them. The pandemic has shown us that solidarity is key to dealing with this “uncertainty”.

 

Reflecting on our experience during the pandemic and the global political economic situation today, we view that we need to create a “safety net” for all of us. And as we continue to demand the state to provide that safety net for us, we should start creating one for ourselves. The principles of solidarity, inclusivity, empathy, and equality or egalitarian treatment, as well as the democratization of basic rights are what we need in a family. The question then becomes: are these practices too much for us to cultivate, even in our smallest collective?

 

 

THE FAMILY, an intimate space between at least two persons, has long been imposed with rules and norms by some higher authority who thinks it knows everything. Those in power keep changing the rules, making the idea of a perfect family forever elusive—unattainable. We want to take a moment not only to challenge this notion, but also to imagine an intimate space that allows the people in it to continue to grow, beyond the barriers imposed by state, religious, colonial, and capitalist authorities.

 

Through this manifesto, we are proposing a practice of living together, without violence, without marginalizing people who are deemed different. A conscious practice of care and love, characterized by openness and willingness to adapt, determined by consensus among those who are willing to take part in it. Everyone involved must have authority over themselves, and believe that a more just future for humans and the universe is something we must absolutely fight for together.

 

There is no panacea for making this dream come true, nor is there a shortcut to getting there. We must take the first step together, hand in hand.

 

 

 

February 2022

 

 

Sekolah Pemikiran Perempuan*:

Fathimah Fildzah Izzati
Intan Paramaditha
Lisabona Rahman
Ni Putu Dewi Kharisma Michellia
Raisa Kamila

 

 

Translated from Indonesian by

Rara Rizal & Syarafina Vidyadhana

  

* Please cite “Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP/The School of Women’s Thoughts)” as the authors of this manifesto.